Meskipun banyak misionaris pergi ke China selama abad 19, namun hanya sedikit misionaris yang memfokuskan pelayanannya ke bagian Indo-China -- Vietnam, Laos, dan Kamboja. Baru ketika memasuki abad 20, para misionaris Kristen mulai menjalin persatuan untuk memantapkan pelayanan bersama ke negara-negara itu dengan didukung oleh lembaga misi yang sudah cukup dikenal saat itu -- The Christian and Missionary Alliance. Pelayanan ini terus berlanjut sampai akhirnya para misionaris dipaksa keluar dari Vietnam pada tahun 1970-an.
Indo-China merupakan wilayah yang paling sulit bagi pelayanan misi Kristen. Pada kenyataannya, belum pernah ada misionaris yang melayani di Indo-China yang terbebas dari penganiayaan. Sebagai hasilnya, banyak penduduk di Indo-China yang bekerja di berbagai instansi dapat mendengar dan menerima berita Injil. Namun demikian harus diakui banyak dari mereka yang hidup dalam suasana ketakutan karena perlakukan dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Selama masa kolonial Perancis, kegiatan penginjilan dibatasi. Ketika Jepang berkuasa di sana selama Perang Dunia II, para misionaris yang menolak untuk pergi dikumpulkan dan ditahan dalam kamp tawanan.
Perang di Asia diakhiri dengan kalahnya Jepang pada tahun 1945 yang menyebabkan tidak adanya lagi kedamaian di Indo-China. Selama 8 tahun, sejak tahun 1946, Ho Chi Minh dan pengikutnya bertempur melawan rezim Perancis yang ada di Vietnam sampai Perancis menarik pasukannya. Namun kedamaian masih tidak ada di Vietnam. Ketika penduduk Vietnam Utara yang hidup di bawah kekuasaaan komunis pindah ke wilayah Selatan, tekanan di wilayah Utara semakin meningkat. Para gerilyawan komunis menyerang penduduk desa, dan pemerintah Saigon mulai bertindak. Masuknya tentara Amerika ke Vietnam mempertajam konflik yang berkembang sehingga menjadi perang besar. Para misionaris Amerika berada dalam bahaya yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Meskipun pasukan Amerika memusatkan perhatian sepenuhnya untuk wilayah Vietnam Selatan, misionaris masih juga menerima pukulan hebat dari para gerilyawan. Aksi tentara Amerika Serikat yang membantu program militer Vietnam Selatan telah menyakiti hati Viet Cong dan pemerintah Hanoi, dan misionaris dianggap sebagai bagian dari konspirasi kapitalis-imperialis yang akan mengatur Indo-China. Para misionaris menyadari adanya permusuhan tersebut, dan wilayah-wilayah yang dievakuasi telah terinfiltrasi oleh Viet Kong. Banyak dokter dan tenaga medis yang terlibat dalam pelayanan misi kesehatan di Vietnam mati sebagai martir. Beberapa di antaranya adalah Betty Mitchell, Betty Olsen, Hank Blood, dan Mike Benge.
Menjadi pahlawan misi wanita tampaknya tidak sesuai dengan gambaran diri Betty Olsen. Banyak orang yang telah mengenalnya sejak lama mungkin meragukan kemampuannya untuk terlibat dalam pelayanan misi. Meskipun demikian, beberapa jam menjelang perayaan Tet (Tahun Monyet yang dipercaya orang Vietnam) pada 30 Januari 1968, dia mempertaruhkan nyawanya saat merawat gadis kecil, Carolyns Griswold, yang terluka parah dan berjuang untuk membawa gadis kecil itu ke rumah sakit. Dan di bulan-bulan selanjutnya yang cukup meletihkan, Betty Olsen membuktikan dirinya sebagai salah satu pahlawan iman di Vietnam.
Betty berusia 34 tahun saat pembunuhan masal di Banmethuot terjadi. Dia mendaftarkan diri sebagai perawat yang melayani kurang dari tiga tahun bersama The Christian and Missionary Alliance di Vietnam. Pelayanan misionari bukanlah hal yang baru bagi Betty. Dia dibesarkan sebagai seorang anak misionaris di Afrika, dan masa-masa terindahnya dilewatkan di negara ini. Namun masa kanak-kanaknya dipenuhi juga dengan kekacauan. Ingatan-ingatan tentang masa kecilnya yang terlintas adalah kesibukan orangtuanya dalam pelayanan misi, sehingga seringkali mereka pergi berhari-hari untuk mengunjungi gereja-gereja di Afrika. Saat berumur 8 tahun, Betty bersekolah hanya selama 8 bulan setiap tahunnya dimana setiap malamnya dia selalu menangis sebelum tidur. Bagi Betty, tinggal di asrama bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Dia memberontak terhadap aturan-aturan dan menolak berteman dengan anak-anak sebayanya. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut terluka atau kecewa jika nanti harus berpisah. Rasa tidak aman yang dimilikinya pada usia remaja semakin bertambah parah ketika ibunya menderita sakit kanker dan meninggal menjelang ulangtahun Betty yang ke 17.
Betty menyelesaikan SMU-nya di Amerika Serikat, lalu kembali lagi ke Afrika. Dia masih bergumul dengan perasaan tidak amannya dan mencari perhatian dari ayahnya. Kemudian dia kembali lagi ke Amerika Serikat untuk mengikuti pelatihan perawat di sebuah rumah sakit di Brooklyn. Setelah itu, Betty mendaftarkan diri ke Nyack Missionary College untuk mempersiapkan karirnya sebagai seorang misionaris.
Meskipun demikian, Betty masih belum menemukan sukacita sejati. Setelah lulus kuliah tahun 1962, dia tidak diterima untuk melayani di C&MA, jadi dia memutuskan kembali ke Afrika untuk melayani bersama ayahnya. Karena banyaknya pemberontakan yang terjadi di Afrika dan juga karena dia tidak dapat menyesuaikan diri dengan para misionaris lainnya, maka Betty diminta untuk tidak lagi melayani di tempat itu.
Pada usia 29 tahun, Betty menjadi perawat di Chicago dan benar-benar mengalami depresi rohani. Lalu dia bertemu dengan seorang pria muda yang kehidupan rohaninya mengubah hidup Betty. Pemuda ini, Bill Gothard, aktif melayani para pemuda gereja di wilayah Chicago. Betty mensharingkan pergumulannya kepada pemuda ini yang kemudian memberi Betty prinsip-prinsip Alkitab untuk mengatasi pergumulannya tentang hidup kekristenan. Setelah bergumul, Betty akhirnya mengambil keputusan bahkan mempunyai kerinduan untuk melayani Allah dan menjadi wanita lajang.
Sementara mengikuti konseling, Betty juga menjadi misionaris yangaktif di Vietnam. Konselornya, Bill Gothard, juga mengembangkanpelayanannya dengan mengadakan sebuah seminar yang dikenal dengan nama Institute in Basic Youth Conflicts. Seminar ini diadakan berdasarkan banyaknya pertanyaan dan pergumulan yang dialami Betty.
Di Vietnam, Betty bersama dengan Hank Blood (dari Wycliffe Bible Translator) dan Mike Benge ditangkap oleh pasukan Viet Cong. Ketiganya dipaksa berjalan menembus hutan selama 12 - 14 jam setiap hari. Mereka menderita demam tetapi tidak mendapatkan pengobatan. Betty adalah yang paling sehat diantara ketiga tawanan itu. Kondisi Mike semakin buruk karena penyakit malaria yang dideritanya namun dia bisa bertahan. Sedangkan Hank, selain mengalami perlakuan kasar dari para penangkapnya dan perjalanan panjang menembus hutan, penyakit ginjal yang ia derita semakin memperburuk keadaannya. Setelah mengalami lima bulan penderitaan, Hank menghembuskan nafas terakhirnya pada pertengahan Juli.
Betty dan Mike lambat laun mengalami kekurangan gizi. Kondisi kesehatan Betty menurun drastis. Kedua kakinya sangat sulit untuk dipakai berjalan. Setiap kali dia terjatuh, penangkapnya memukul dia. Dia menangis dan memohon kepada penangkapnya agar membiarkan dia mati di hutan. Namun permohonan itu diabaikan. Kondisinya bertambah buruk dengan penyakit disentri yang dideritanya. Saat Betty berulangtahun yang ke-35, dia mengalami kesakitan yang luar biasa di seluruh tubuhnya sampai tidak bisa berjalan lagi. Dua hari kemudian, Betty meninggal dunia.
Setelah kematian Betty, Mike dibawa ke Hanoi Hilton sebagai tempat penahanannya yang kedua. Pada Januari 1973, setelah hampir lima tahun berada dalam tahanan, Mike dibebaskan. Kemudian dia menceritakan kepada keluarga Betty Olsen dan Hank Blood tentang perjalanan mengerikan yang mereka alami saat berada di hutan Vietnam. Dia mensharingkan bagaimana ketiganya hanya bersandar penuh pada kekuatan Allah. Meskipun kondisi ketiganya tidak terlalu baik, mereka tetap berusaha untuk menguatkan hati orang-orang Kristen lainnya yang juga ditawan. Dalam diri Betty, yang terkenal suka memberontak dan berkata-kata tajam, Mike menjumpai seorang pribadi yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Kasih Kristus yang dimiliki Betty sangat nyata dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Sampai akhir hidupnya, Betty tetap mengasihi orang-orang yang telah menahannya dan memperlakukannya dengan kasar.
Diterjemahkan dan diringkas dari salah satu artikel di:
Judul buku | : | From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions |
Penulis | : | Ruth A. Tucker |
Penerbit | : | Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan |
Halaman | : | 371 - 377 |